Kali ini kita akan membakah meletakkan
tangan kanan di atas tangan kiri.
Dalam hadits Wail bin Hujr, ia
berkata bahwa,
أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله
عليه وسلم- رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ كَبَّرَ – وَصَفَ
هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ – ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ
الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
Ia melihat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat dan
beliau bertakbir (Hammam menyebutkan beliau mengangkatnya sejajar telinga),
lalu beliau memasukkan kedua tangannya di bajunya, kemudian beliau meletakkan
tangan kanan di atas tangan kiri. (HR. Muslim no. 401).
Meletakkan tangan kanan di sini bisa
pada telapak tangan, pergelangan atau lengan tangan kiri. Dalam hadits Wail bin
Hujr juga disebutkan,
ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى
ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ
“Kemudian meletakkan tangan kanan
di atas punggung telapak tangan kiri, di pergelangan tangan, atau di lengan
tangan kiri.” (HR. Ahmad 4: 318. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Bisa juga tangan kanan menggenggam
tangan kiri (yang dimaksud pergelengan tangan kiri) sebagaimana disebutkan
dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ قَبَضَ
بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ
“Aku pernah melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berdiri dalam shalat, tangan kanan
beliau menggenggam tangan kirinya.” (HR. An Nasai no. 8878 dan Ahmad 4: 316.
Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Masalah dimana diletakkan kedua
tangan itu pada saat berdiri shalat, memang para ulama sejak dahulu memang
berbeda pendapat. Setidaknya di dalam pendapat para ulama mazhab empat ada dua
posisi yang berbeda.
Pertama di bawah pusar, kedua di
antara dada dan pusar, ketiga tangan tidak bersedakep dan lurus saja menjuntai
ke bawah.
1. Di bawah Pusar : Al-Hanafiyah dan
Al-Hanabilah
Mereka yang mengatakan bahwa posisi
tangan itu di bawah pusar diantaranya adalah Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah.
Imam al-Kasani (w. 587 H) menuliskan
dalam kitab Al-Bada'i sebagai berikut :
وأما محل الوضع فما تحت السرة في حق
الرجل والصدر في حق المرأة
Adapun tempat bersedekap, adalah
dibawah pusar untuk laki-laki dan di dada untuk perempuan.
Al-Khiraqi (w. 334 H) juga
menyebutkan tentang posisi tangan di bawah pusar dalam kitab Mukhtasharnya.
ثم يضع يده اليمنى على كوعه اليسرى
ويجعلهما تحت سرته
Kemudian meletakkan tangan kanan
diatas pergelangan tangan kiri, lalu meletakkannya dibawah pusar.
Mereka yang berpendapat seperti ini
umumnya berlandasan dengan hadits shahih berikut ini :
مِنَ السُّنَّةِ وَضْعُ اليَمِيْنِ
عَلىَ الشِّمَالِ تَحْتَ السُّرَّةِ
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib
ra,"Termasuk sunnah adalah meletakkan kedua tangan di bawah pusat".(HR. Ahmad dan Abu Daud).
Tentu perkataan Ali bin Abi Thalib
ini merujuk kepada praktek shalat Rasulullah SAW, sebagaimana beliau
menyaksikannya.
Al-Hanabilah berkata bahwa maksud
dari diletakkannya tangan pada bagian bawah pusar untuk menunjukkan kerendahan
di hadapan Allah SWT.
2. Antara Pusar dan Dada :
Asy-Syafi'iyah
Mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan
bahwa tangan diletakkan pada posisi antara dada dan pusar. Dan bahwa posisinya
agak miring ke kiri, karena disitulah posisi hati, sehingga posisi tangan ada
pada anggota tubuh yang paling mulia.
Al-Muzani (w. 264 H) menyebutkan
dalam kitab Mukhtasharnya :
ويرفع يديه إذا كبر حذو منكبيه ويأخذ
كوعه الأيسر بكفه اليمنى ويجعلها تحت صدره
Dan mengangkat kedua tangan ketika
takbir sampai sebatas pundak, lalu bersedekap dengan telapak tangan kanan
memegang pergelangan tangan kiri. Lalu meletakkannya dibawah dada.
Al-Imam an-Nawawi (w. 676 H) juga
menyebutkan bahwa meletakkan tangan diantara dada dan pusar adalah pendapat
yang shahih dan mansush dalam Madzhab Syafi’i.
3. Tangan di Dada?
Kalau merujuk kepada pendapat ulama
salaf, khususnya mazhab fiqih yang muktamad dalam ilmu fiqih, nampaknya tidak
ada satu pun yang mengatakan bahwa posisi tangan sewaktu shalat di letakkan di
dada.
Pendapat semacam itu baru kita
temukan belakangan , di kalangan tokoh-tokoh mutaakkhkhirin, seperti
As-Shan’ani, As-Syaukani, Al-Mubarakfuri dan Al-Albani. Mereka ini pada
dasarnya bukan ulama fiqih yang mewakili mazhab fiqih tertentu dan hidup di
masa yang jauh dari masa salafushshalih.
Ash-Shan'ani dengan kitabnya Subulussalam.
Dalam pendapatnya beliau memang lebih cenderung memposisikan tangan di dada.
Dan beliau wafat di tahun 1182 hijriyah, ada rentang waktu 12 abad sejak masa
Rasulullah SAW.
Asy-Syaukani berpendapat dalam kitab Nailul
Authar cenderung memposisikan tangan di dada. Beliau ulama yang wafat tahun
1250 hijriyah, sekitar seabad sesudah Ash-Shan'ani wafat.
Al-Mubarakfuri yang juga memposisikan tangan di
dada. Beliau menuliskan pendapatnya itu dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi.
Beliau wafat tahun 1352 hijriyah.
Al-Albani : terakhir yang berpendapat bahwa
posisi tangan di dada adalah Al-Albani yang wafat di abad sekarang ini,
tepatnya tahun 1420 hijriyah. Pendapatnya dituliskan dalam kitab kontroversial,
Shifat Shalat Nabi.
Namun sebelum masa mereka, tidak ada
ulama yang mengatakan bahwa posisi tangan di dada. Setelah syariah Islam
berusia 12 abad di dunia, barulah muncul pendapat yang mengatakan bahwa posisi
tangan di dada.
Keliru Dalam Penisbatan
Memang ada kalangan tertentu yang
menisbatkan pendapat ini kepada ulama salaf, tetapi setelah diteliti lebih
dalam, ternyata penisbatan itu kurang tepat penisbatan itu.
Misalnya Imam al-Qurthubi (w. 671 H)
menisbatkan pendapat ini kepada Shahabat Ali bin Abi Thalib (al-Qurthubi w. 671
H, Tafsir al-Qurthubi, h. 8/ 7311). Tetapi penisbatan ini tidak tepat.
(Muhammad Syamsul Haq al-Adzimabadi w. 1329 H, at-Ta’liq al-Mughni, h.
1/ 285).
Ali bin Abu Bakar al-Marghinani
al-Hanafi (w. 593 H) menisbatkan pendapat ini kepada Imam as-Syafi’i (w. 204 H)
dalam kitabnya al-Hidayah fi Syarh Bidayat al-Mubtadi’, h. 1/ 47.
Penisbatan ini tidak tepat, karena
pendapat Imam as-Syafi’i sebagaimana dinyatakan oleh ulama-ulama as-Syafi’iyyah
tidak seperti itu (Lihat: Ismail bin Yahya al-Muzani w. 264 H, Mukhtashar
al-Muzani, h. 107).
Nashiruddin Al-Albani (w. 1420 H)
juga menisbatkan pendapat ini kepada Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) dalam
kitabnya Irwa’ al-Ghalil, h. 2/ 71.
Penisbatan ini juga tidak tepat,
karena menurut Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) justru yang lebih kuat secara
dalil adalah meletakkan tangan dibawah pusar. (Ishaq bin Manshur al-Maruzi
al-Kausaj w. 251 H, Masa’il al-Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih, h. 2/
552).
Dalam masalah ini, bisa diambil sedikit
gambaran bahwa malahan tak ada satupun ulama fiqih madzhab empat yang
berpendapat meletakkan tangan diatas dada saat shalat.
Bahkan, dalam beberapa riwayat
disebutkan bahwa meletakkan tangan di atas dada bagi Imam Ahmad bin Hanbal (w.
241 H) saat shalat hukumnya makruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar