Membaca do’a Qunut diwaktu shalat
subuh
Dalam masalah ibadah, menetapkan
suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada
adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau
tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam
agama (bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits
Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : ((مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
“Siapa yang yang mengadakan hal baru
dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari
perkara maka hal itu adalah tertolak”. Dan dalam riwayat Muslim : “Siapa yang berbuat
satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak”.
Dan ini hendaknya dijadikan sebagai
kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan
kepada agama.
Setelah mengetahui hal ini, kami
akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.
Uraian
Pendapat Para Ulama
Ada tiga pendapat dikalangan para
ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.
Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara
terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih
dan Imam Syafi’iy.
Pendapat kedua
: Qunut shubuh tidak disyariatkan karena
qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu
Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga : Qunut
pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh
dilakukan pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah
pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh
dari para ulama ahlul hadits.
Dalil
Pendapat Pertama
Dalil yang paling kuat yang dipakai
oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut
ini :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى
فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai
beliau meninggalkan dunia”.
Dikeluarkan oleh ‘Abdurrozzaq
dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thohawy
dalam Syarah Ma’ani Al Atsar 1/244,
Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih
no.220, Al-Hakim dalam kitab Al-Arba’in sebagaimana
dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro
1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-Daruquthny
dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh
6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690
dan dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib
Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama’ wat Tafriq
2/255 dan dalam kitab Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq
1/463.
Semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Rozy
dari Ar-Robi’ bin Anas dari Anas bin Malik.
Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad
bin ‘Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul
Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy.
Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata
: “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari
Ar-Robi’ bin Anas adalah Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan
Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)”. Berkata Ibnu Hambal
dan An-Nasa`i : “Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)”. Berkata
Abu Zur’ah : “Yahimu katsiran (Banyak salahnya)”. Berkata Al-Fallas
: “Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)”. Dan berkata Ibnu Hibban :
“Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar”.”
Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul
Ma’ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari
gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang
diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Rozy, beliau berkata : “Dan yang
dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-Rozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits
yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para
ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya”.
Dan bagi siapa yang membaca
keterangan para ulama tentang Abu Ja’far Ar-Rozy ini, ia akan melihat
bahwa kritikan terhadap Abu Ja’far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan
yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan
oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau
berkata : “Shoduqun sayi`ul hifzh khususon ‘anil Mughiroh
(Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).
Maka Abu Ja’far ini lemah haditsnya
dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan
hadits yang mungkar.
Dihukuminya hadits ini sebagai
hadits yang mungkar karena 2 sebab :
- Satu : Makna yang ditunjukkan oleh
hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah,
sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ
عَلَى قَوْمٍ
“Sesungguhnya Nabi shollallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau
berdo’a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo’a (kejelekan atas suatu kaum)”. Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah
1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460
dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah
no. 639.
- Kedua : Adanya perbedaan lafazh
dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya
perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan
lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan
lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Nabi shollahu ‘alahi
wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut Taj)
dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah
6/129.
Kemudian sebagian para ‘ulama
syafi’iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain
yang menguatkannya,
maka mari kita melihat jalan-jalan
tersebut :
-
Jalan
Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata :
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله
ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ
وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
“Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi
wa Sallam, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, dan saya (rawi) menyangka “dan
keempat” sampai saya berpisah denga mereka”.
Hadits ini diriwayatkan dari Al
Hasan oleh dua orang rawi :
Pertama : ‘Amru bin ‘Ubaid.
Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’ani Al Atsar
1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al
Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq
no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al Huffazh 2/494. Dan
‘Amru bin ‘Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu’tazilah dan dalam
periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits
(ditinggalkan haditsnya).
Kedua : Isma’il bin Muslim Al
Makky, dikeluarkan oleh Ad-Daraquthny dan Al Baihaqy. Dan Isma’il
ini dianggap matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut
Tahdzib.
Catatan :
Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam
Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja’far bin Mihron, (ia berkata)
menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits bin Sa’id, (ia berkata)
menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ
حَتَّى فَارَقْتُهُ
“Saya sholat bersama Rasulullah
Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terus-menerus qunut
pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau”.
Riwayat ini merupakan kekeliruan
dari Ja’far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby
dalam Mizanul I’tidal 1/418. Karena ‘Abdul Warits
tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari ‘Amru bin ‘Ubeid sebagaiman dalam riwayat
Abu ‘Umar Al Haudhy dan Abu Ma’mar – dan beliau ini adalah orang yang paling
kuat riwayatnya dari ‘Abdul Warits-.
-
Jalan
kedua : Dari jalan Khalid bin Da’laj dari Qotadah dari Anas bin Malik
:
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ
عُثْمَانَ فَقَنَتَ
“Saya sholat di belakang Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang
‘umar lalu beliau qunut dan di belakang ‘Utsman lalu beliau qunut”.
Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202
dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits wa Mansukhih
no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk
hadits Abu Ja’far Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany dalam Al
Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata : “Butuh
dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung)
atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma’in dan Ad-Daruquthny
melemahkannya dan Ibnu Ma’in berkata di (kesempatan lain) : laisa bi
syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi tsiqoh
(bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang
mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny
mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang matruk.
Kemudian yang aneh, di dalam hadits
Anas yang lalu, perkataannya “Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh
hingga beliau meninggalkan dunia”, itu tidak terdapat dalam hadits Khalid.
Yang ada hanyalah “beliau (nabi) ‘alaihis Salam qunut”, dan ini
adalah perkara yang ma’ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus
melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai
pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)”.
-
Jalan
ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin ‘Abdillah dari Anas bin
Malik :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ
“Terus-menerus Rasulullah
Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai
beliau meninggal”.
Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al
Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq
no. 695.
Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar
dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang pemalsu hadits
yang terkenal. Dan Dinar bin ‘Abdillah, kata Ibnu ‘Ady : “Mungkarul hadits
(Mungkar haditsnya)”. Dan berkata Ibnu Hibban : “Ia meriwayatkan dari
Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab
kecuali untuk mencelanya”.
Kesimpulan
pendapat pertama:
Jelaslah dari uraian diatas bahwa
seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah
dan tidak bisa dikuatkan.
Kemudian anggaplah dalil mereka itu
shohih bisa dipakai berhujjah, juga tidak bisa dijadikan dalil akan
disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa
mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil
oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.
- Doa
- Khusyu’
- Ibadah
- Taat
- Menjalankan ketaatan.
- Penetapan ibadah kepada Allah
- Diam
- Shalat
- Berdiri
- Lamanya berdiri
- Terus menerus dalam ketaatan
Dan ada makna-makna yang lain yang
dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur’an
karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain.
Maka jelaslah lemahnya dalil orang
yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.
Dalil
Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu
Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ
الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ
اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ
رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ
وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ
الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ
ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ
الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ
ظَالِمُوْنَ ))
“Adalah Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat
kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya
(I’tidal) berkata : “Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu,
lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin
Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang
lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas
kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti
tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah,
laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakwan dan ‘Ashiyah yang bermaksiat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya
tatkala telah turun ayat : “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan
mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena
sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (HSR.Bukhary-Muslim)
Berdalilkan dengan hadits ini
menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena
dua hal :
Pertama : ayat tersebut tidaklah
menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh
Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan
dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang
menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.
Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary –
Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata :
وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ
أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ
الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu
beliau berkata : “Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara
shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah
melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya’ dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan
untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir”.
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah
belum mansukh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh
tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah.
Dalil Pendapat Ketiga
Satu : Hadits Sa’ad bin Thoriq
bin Asyam Al-Asyja’i
قُلْتُ لأَبِيْ : “يَا أَبَتِ إِنَّكَ
صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ
وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ
سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ” فَقَالَ : “أَيْ بَنِيْ
مُحْدَثٌ”.
“Saya bertanya kepada ayahku :
“Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa
alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu
‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada
sholat subuh ?”. Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh)
adalah perkara baru (bid’ah)”. Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080
dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472
dan 6/394, Ath-Thoyalisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al
Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany
8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan
no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah
8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan
Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kamal dan dishohihkan oleh syeikh
Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh
Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shohihain.
Dua : Hadits Ibnu ‘Umar
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ :
“صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ”. فَقُلْتُ :
“آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ”, قَالَ : “مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ”.
“ Dari Abu Mijlaz beliau berkata :
saya sholat bersama Ibnu ‘Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya
berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau
berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku”. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy
1\246, Al-Baihaqy 2\213 dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma’
Az-Zawa’id 2\137 dan Al-Haitsamy berkata :”rawi-rawinya tsiqoh”.
Ketiga : tidak ada dalil yang shohih
menunjukkan disyari’atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara
terus-menerus.
Keempat : qunut shubuh secara
terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu ‘Umar diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
Al-Fatawa berkata : “dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar
dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru
yang bid’ah”.
Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang
berpendapat disyari’atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat bahwa
mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :
1) Ada yang shohih
tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
2) Sangat jelas
menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah
tidak bisa dipakai berhujjah.
Keenam : setelah mengetahui apa yang
disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari’atkannya
qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do’a qunut “Allahummahdinaa
fi man hadait…….sampai akhir do’a kemudian diaminkan oleh
para ma’mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan
dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak
sebagaimana halnya masalah sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan
secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi
kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.
Demikian keterangan Imam Ibnul
qoyyim Al-Jauziyah dalam Zadul Ma’ad.
Kesimpulan
Jelaslah dari uraian di atas
lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga sehinga
memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus selain
qunut nazilah adalah bid’ah tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah dan para shahabatnya.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar